Rabu, 14 September 2016

QURBAN

Tidak ada komentar:
 QURBAN


Qurban merupakan salah satu ibadah yang asal muasalnya dari kisah Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Isma’il ‘alayhis salam, hal ini diabadikan oleh Allah Subahanhu wa Ta’alaa didalam Al-Qur’an:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaaffat 37 : 102-107)


Sebelum masuk pada ranah Fiqih, baiknya kita merenungi terlebih dahulu beberapa pelajaran (hikmah) yang bisa diambil untuk ditauladani yaitu tentang totalitas ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa, pengorbanan serta keikhlasan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa.

Pengertian dan Hukum Qurban
Qurban berarti dekat, istilah lain yang biasa di gunakan adalah Nahr (sembelihan), dan Udliyyah (sembelihan atau hewan sembelihan). Dalam Fiqh, biasa menggunakan istilah Udlhiyyah (الْأُضْحِيَّةِ), Tadlhiyyah (التضحية), Adlhah (أضحاة) dan Dlahiyyah (ضَحِيَّةٌ).

Imam Zakariyya Al Anshori didalam Fathul Wahab bi-syarhi Minhajith Thullab mengatakan : “Udlhiyyah adalah apa-apa yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak hari ‘Idun Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah)”.

Dari pengertian ini, maka hewan qurban hanya disembelih pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, sebab dihari-hari tersebut adalah hari suka cita dan makan-makan bagi umat Islam. Sehingga diluar hari tersebut, maka itu bukan qurban, melainkan termasuk kategori shadaqah.

Hukum Qurban adalah sunnah mu’akkad dan merupakan syi’ar yang nampak (dhohir) bagi setiap muslim yang mampu untuk menjaganya (melestarikannya). Dan secara asal hukum syara’, qurban tidak wajib, kecuali qurban sebagai bentuk nadzar maka itu wajib sebagaimana ibadah-ibadah keta’atan lainnya. Sebagian ulama, ada yang mengatakan qurban hukumnya wajib bagi yang mampu.

Imam An-Nawawi rahimahullah didalam Al Majmu syarah Al-Muhadzdzab mengatakan : “Telah kami tuturkan bahwa madzhab kami (syafi’iyah) menyatakan sunnah muakkad bagi orang yang kaya (makmur) namun tidak wajib, seperti inilah juga pendapat Aktsarul Ulama (kebanyakan ulama), diantara mereka Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badri, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Atha’, Aqlamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzanni, Daud adl-Dhohiri dan Ibnul Mandzur. Sedangkan Rabi’iah, al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah dan al-Auza’i berpendapat wajib bagi orang kaya kecuali orang yang haji di Mina. Muhammad al-Hasan (ulama Hanafi) berpendapat wajib bagi muqim (penduduk tetap) di semua wilayah namun yang masyhur dari Abu Hanifah adalah wajib bagi muqim serta mencapai nishob”.

Terkait dasar pensyariatan Qurban, menurut ulama adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ul ummah. Diantaranya adalah surah Al Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”

Maksud shalat dalam ayat tersebut adalah shalat ‘Ied (hari raya) dan sembelihlah (hewan) sembelihan. Diantaranya lagi, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

ضَحَّى النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقَرْنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi shallallahu ‘alayhi wa Sallam berqurban dengan dua kambing kibasy berwarna putih lagi panjang tanduknya, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri yang mulia seraya membaca basmalah, bertakbir dan meletakkan kaki beliau yang berkah diatas leher keduanya”.

Waktu Pelaksanaan Qurban
Adalah sejak terbitnya matahari pada Yaumun Nahr (10 Dzulhijjah, penj) ) dan telah berlalu terbitnya dengan kadar shalat dua raka’at serta dua khutbah yang ringan, atau setelah masuk waktu shalat ‘Dluha dengan kadar shalat dua raka’at beserta khutbahnya yang sedang (ringan). Hal ini berdasarkan riwayat dari Al Barra’ bin ‘Asib radliyallahu ‘anh, ia berkata :

خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا، وَنَسَكَ نُسْكَنَا، فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ، فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berkhutbah kepada kami pada yaumun Nahr (hari raya qurban) setelah shaalt, beliau bersabda : “barangsiapa yang shalat seumpama kami shalat dan menyembelih seumpama kami menyembelih (yaitu setelah shalat), maka sungguh ia telah benar, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu daging kambing biasa (bukan qurban)”. (HR. Al Bukhari)

Oleh karena itu menyembelih qurban sebelum shalat ‘Ied itu tidak mencukupi, tidak sah, tanpa ada perselisihan diantara ulama.

Adapun berakhirnya, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Nas-nas Imam al-Syafi’i beserta ashhab sepakat bahwa waktu qurban berakhir ketika terbenam matahari pada hari ketiga dari hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dan ulama sepakat bahwa boleh menyembelih hewan qurban pada waktu-waktu tersebut (10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pen), baik malam hari maupun siang hari, akan tetapi bagi kami (Syafi’iyah) hukumnya makruh menyembelih hewan pada malam hari pada selain Udlhiyyah, dan pada Udlhiyyah (sembelih qurban) maka lebih makruh”.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)

Apabila melewati batas waktu qurban ; jika berupa qurban sunnah, maka tidak ada qurban sebab bukan waktu yang disunnahkan untuk berqurban, sehingga jika ingin berqurban maka tunggu ditahun berikutnya diwaktu-waktu qurban. Namun, jika berupa qurban nadzar maka tetap wajib melakukan qurban, sebab merupakan kewajiban bagi yang bernadzar sehingga tidak gugur hanya karena melewati batas waktu.

Diantara Kriteria Hewan Qurban
- Hewan sembelihan adalah hewan ternak seperti onta, sapi, dan kambing maupun domba, baik jantan maupun betina, dengan berbagai jenisnya. Namun, tidak mencukupi seperti Sapi hutan, himar (keledai) dan kuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka,” (QS. Al Hajj 22 : 34)

- Tidak cacat secara fisik dan tidak sakit. Imam Ibnu Ruslan al-Syafi’i berkata didalam Nadham Az-Zubad :

“Tidak diperbolehkan hewan yang sangat kurus, sakit, pincang, cacat bagian tubuhnya seperti sebagian telinga atau ekornya sebagaimana pula buta sebelah matanya, buta keduanya atau terputus pantatnya. Diperbolehkan hewan yang hanya cacat tanduknya dan hewan yang dikebiri.”

- Mencapai usia yang ditentukan : Onta harus genap berusia 5 tahun (masuk tahun ke-enam), sapi berusia 2 tahun (masuk tahun ke-tiga), dan domba / kambing berbulu tebal (الضأن ) berusia 1 tahun atau sudah tanggal giginya. Adapun kambing (المعز) berusia 2 tahun (masuk tahun ke-tiga) atau tanggal giginya.

Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi didalam Fathul Qarib berkata : “Dan mencukupi didalam qurban yakni jadza’ pada domba (الضأن) yakni berumur 1 tahun dan masuk tahun ke-dua, tsaniyya pada kambing (المعز) yakni berusia 2 tahun dan masuk tahun ke-tiga, tsaniyya pada onta (الإبل) yakni berusia 5 tahun dan masuk tahun ke-enam, dan tsaniyya pada sapi (البقر) berusia 2 tahun dan masuk tahun ke-tiga. Boleh qurban kolektif yakni 1 onta untuk 7 orang, seperti itu juga sapi untuk 7 orang, dan kambing (الشاة) untuk satu orang”.

Hewan qurban yang lebih afdlol, menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi adalah onta, kemudian sapi, dan kambing. Adapun Imam An-Nawawi rahimahullah didalam kitab Al Majmu’ mengatakan : “Onta lebih utama daripada sapi, sapi lebih utama daripada kambing (الشاة), kambing domba (الضأن) lebih utama daripada kambing (biasa), jadza’ah domba (berumur 1 tahun lebih) lebih utama daripada tsaniyyah kambing (berumur 2 tahun lebih)”.

“Berqurban dengan seekor kambing (الشاة) lebih utama daripada seekor onta atau sapi untuk 7 orang (gabungan/kolektik), berdasarkan ittifaq ulama” Berqurban dengan 7 ekor kambing (الغنم) lebih utama daripada onta dan sapi berdasarkan yang ashoh dari dua pendapat, sebab banyaknya darah ternak yang teralirkan. Berqurban dengan onta atau sapi lebih utama atas pertimbangan banyaknya dagingnya”.

Cara Penyembelihan Hewan Qurban
Disunnahkan, hewan qurban disembelih sendiri jika mudlohi (orang yang berqurban) itu laki-laki dan mampu menyembelih. Boleh diwakilkan.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : " ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ وَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Dari Anas ra beliau berkata: “Rasulullah SAW ber-Qorban dengan 2 ekor kambing yang putih-putih dan bertanduk, beliau menyembelih dengan tangannya sendiri dengan membaca Basmalah dan Takbir (بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ) serta meletakkan kakinya di dekat leher kambing tersebut.” (HR. Al Bukhari)

فَنَحَرَ ثَلَاثًا وَسِتِّينَ بِيَدِهِ، ثُمَّ أَعْطَى عَلِيًّا، فَنَحَرَ مَا غَبَرَ
"Kemudian beliau menyembelih 63 ekor hewan qurban dengan tangannya sendiri, lalu menyerahkan kepada Sayyidina Ali,  Sayyidina Ali pun menyembelih hewan yang tersisa" (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah didalam Al Majmu’ berkata : “Dan mustahab (sunnah) menyembelih hewan qurbannya sendiri berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anh…, dan boleh digantikan oleh lainnya berdasarkan riwayat Jabir…, juga mustahab (sunnah) untuk tidak mewakilkan kecuali pada orang muslim karena itu adalah qurbah (ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) maka lebih utama tidak mewakilkan kepada orang kafir, dan juga karena yang demikian itu menghindar dari perselisihan pendapat, sebab menurut Imam Malik tidak sah (tidak mencukupi) sembelihannya, maka (adapun) jika mewakilkan pada orang Yahudi dan Nasrani, itu boleh karena ia termasuk ahli berkurban. Dan mustahab (disunnahkan) orang yang menyembelih adalah orang alim karena ia lebih mengetahui cara-cara menyembelih. Disunnahkan pula, apabila diwakilkan pada orang lain, menyaksikan proses penyembelihan berdasarkan riwayat Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anh”.

Imam Mawardi al-Syafi’I berkata : “.. dan kecuali perempuan, maka disunnahkan mewakilkan penyembelihan hadiahnya dan qurbannya pada orang laki-laki”.

Tidak boleh mewakilkan pada orang penganut Watsani (penyembah berhala), majusi dan orang murtad, namun boleh mewakilkan pada ahli kitab, perempunan dan anak kecil, akan tetapi ulama Syafi’iyyah memakruhkan mewakilkan pada anak kecil (shobiy), dan (menurut pendapat yang ashoh) tidak makruh mewakilkan pada wanita haidl sebab wanita haidl lebih utama daripada shobiy, dan adapun shobiy lebih utama daripada orang kafir al-kitabi.
- Mengucapkan basmalah ketika hendak menyembelih
- Mengucapkan Takbir (sebelum membaca basmalah ataupun setelahnya)
- Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat
Dianjurkan membaca basmalah dengan sempurna “Bismillahirrahmahmanirrahiim”. Dianjurkan juga membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Dianjurkan bertakbir sebanyak 3 kali (menurut Imam Mawardi). Dianjurkan berdo’a bil-Qabul, seperti Allahumma Hadzihi Minka wa Ilayka Fataqabbal. 

Minggu, 08 Mei 2016

Ta'aruf, Tafahum, Ta'awun, Takaful, dan Itsar

Tidak ada komentar:
Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya ukhuwah islamiyah.
Islam menjadikan persaudaraan dalam islam dan iman sebagai dasar bagi aktifitas perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Ukhuwah islamiyah akan melahirkan rasa kesatuan dan menenangkan hati manusia. Banyak persaudaraan lain yang bukan karena islam dan persaudaraan itu tidak akan kuat dan kekal. Persaudaraan Islam yang dijalin oleh Allah SWT merupakan ikatan terkuat yang tiada tandingannya.
Poerpecahan dikalangan umat dewasa ini terjadi disebabkan mereka tidak memenuhi persyaratan ukhuwah, yaitu kurangnya mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang bersungguh-sungguh. Allah SWT berfirman, ketaatan beribadah dan ketakwaan sebagai solusi dari perpecahan umat. Lihat Q.S.49:10 dan 8 :1
Oleh karena itu untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah islamiyah antara lain ada 5 :
1. Ta’aruf (Saling Mengenal) : ini adalah tingkatan yang paling dasar dalam ukhuwah. Adanya interaksi dapat lebih mengenal karakter individu. Perkenalan pertama tentunya kepada penampilan fisik (Jasadiyyan), seperti tubuh, wajah, gaya pakaian, gaya bicara, tingkah laku, pekerjaan, pendidikan, dsb. Selanjutnya interaksi berlanjut ke pengenalan pemikiran(Fikriyyan). Hal ini dilakukan dengan dialog, pandangan thd suatu masalah, kecenderungan berpikir, tokoh idola yang dikagumi/diikuti,dll. Dan pengenalan terakhir adalah mengenal kejiwaan (Nafsiyyan) yang ditekankan kepada upaya memahami kejiwaan, karakter, emosi, dan tingkah laku. Seoerti kalau kita kenalan dengan orang pertama kalinya, kita tanya alamat, no HP dsb
2. Tafahum (Saling Memahami) : proses ini berjalan secara alami. Seperti bagaimana kita memahami kekurangan dan kelebihan saudara kita. Sehingga kita bisa tahu apa yang di sukai dan tidak di sukai, menempatkan posisi seperti apa bila kita bersamanya dsb.

3. Ta’awun (Saling Menolong) : lahir dari proses tafahum tadi. Ta’awun dapat dilakukan dengan hati (saling mendo’akan), pemikiran (berdiskusi dan saling menasehati), dan amal ( saling Bantu membantu). Saling membantu dalan kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan org lain.
4. Takaful (Saling Menanggung) : rasa sedih dansenang diselesaikan bersama. Ketika ada saudara yang mempunyai masalah, maka kita ikut menanggung dan menyelesaikan masalahnya tersebut. Contoh mudah nya, ketika teman kita belum mampu membayar SPP bulan ini, maka kita menanggung biaya nya tersebut. Dsb.
5. Itsar (Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri) : ini adalah tingkatan tertinggi dalam ukhuwah. Tingkatan iman nya para sahabat. Banyak hadist yang menunjukkan itsar ini. Seperti ketika dalam suatu perang, salah seorang sahabat sangat kehausan. Kebetulan ia hanya tinggal mempunyai 1 kali jatah air untuk minum. Saat akan meminum nya, terdengar rintihan sahabat lain yang kehausan. Maka air tersebut ia berikan kepada sahabat yg kehausan itu. Saat mau meminumnya terdengar sahabat lain lagi yang merintih kehausan. Kemudian ia berikan air tersebut kepada sahabat itu. Begitu seterusnya sampai air tersebut kembali kepada si pemilik air pertama tadi. Akhirnya semua syahid.
Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai dirimu sendiri (HR. Bukhari-Muslim).
Betapa indah ukhuwah islamiyah yang diajarkan Alloh dan rosul-Nya. Bila umat islam melakukannya, tentunya terasa lebih manis rasa iman di hati dan terasa indah hidup dalam kebersamaan. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga, masyarakat dekat untuk menjalin persaudaraan islam ini.
wallahu ta’ala a’lam bisshawab.

Selasa, 26 April 2016

Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun

Tidak ada komentar:

Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun


Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun


Tanya:
assalamualaikum.
afwan ustadz, ana mnt tolong dijelaskan tentang hukum mengucapkan “selamat ulang tahun” pd hari kelahiran, serta memberikan ucapan “selamat(met milad” kepada orang lain yang pada saat itu sedang ulang tahun. Karena setau ana merayakan ulang tahun itu haram, lantas bagaimana dengan mengucapkannya?
barokallohufiykum
abdillah [gonnabefine@rocketmail.com]
Masalah yang hampir sama juga ditanyakan oleh saudara muhammad [yogmatafalas@rocketmail.com]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Ulang tahun termasuk di antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tatkala penentuan hari raya adalah tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka menentukan suatu hari sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah dalam agama dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460)
Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha.
Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
Karenanya tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun yang merayakan hari raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti ultah, natalan, waisak, dan semacamnya), karena mengucapkan selamat menunjukkan keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah tersebut. Dan ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang muslim wajib membenci kemaksiatan. Wallahu a’lam

Hukum Mengucapkan Selamat Natal "Marry Christmas

Tidak ada komentar:

Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun …


ucapan-selamat
    
Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.
Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim mengucapakan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.
Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin, berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at, asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.
Islam mengajarkan kemuliaan dan akhlak-akhlak terpuji. Tidak hanya perlakuan baik terhadap sesama muslim, namun juga kepada orang kafir. Bahkan seorang muslim dianjurkan berbuat baik kepada orang-orang kafir, selama orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Namun hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menggeneralisir sikap baik yang harus dilakukan oleh seorang muslim kepada orang-orang kafir. Sebagian orang menganggap bahwa mengucapkan ucapan selamat hari natal adalah suatu bentuk perbuatan baik kepada orang-orang nashrani. Namun patut dibedakan antara berbuat baik (ihsan) kepada orang kafir dengan bersikap loyal (wala) kepada orang kafir.

Alasan Terlarangnya Ucapan Selamat Natal

1- Bukanlah perayaan kaum muslimin
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum muslimin hanya ada 2, yaitu hari ‘Idul fitri dan hari ‘Idul Adha.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih).
Sebagai muslim yang ta’at, cukuplah petunjuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi sebaik-baik petunjuk.
2- Menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal
Ketika ketika mengucapkan selamat atas sesuatu, pada hakekatnya kita memberikan suatu ucapan penghargaan. Misalnya ucapan selamat kepada teman yang telah lulus dari kuliahnya saat di wisuda.
Nah,begitu juga dengan seorang yang muslim mengucapkan selamat natal kepada seorang nashrani. Seakan-akan orang yang mengucapkannya, menyematkan kalimat setuju akan kekufuran mereka. Karena mereka menganggap bahwa hari natal adalah hari kelahiran tuhan mereka, yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihish shalatu wa sallam. Dan mereka menganggap bahwa Nabi ‘Isa adalah tuhan mereka. Bukankah hal ini adalah kekufuran yang sangat jelas dan nyata?
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
3- Merupakan sikap loyal (wala) yang keliru
Loyal (wala) tidaklah sama dengan berbuat baik (ihsan). Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang kita cintai, sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena itu, para kekasih Allah juga disebut dengan wali-wali Allah.
Ketika kita mengucapkan selamat natal, hal itu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar di lisan saja. Padahal seorang muslim diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan oarang kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. Al Mumtahanah: 4)
4- Nabi melarang mendahului ucapan salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Ucapan selamat natal termasuk di dalam larangan hadits ini.
5- Menyerupai orang kafir
Tidak samar lagi, bahwa sebagian kaum muslimin turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Lihat saja ketika di pasar-pasar, di jalan-jalan, dan pusat perbelanjaan. Sebagian dari kaum muslimin ada yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum  muslimin untuk menyerupai kaum kafir.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Pembicaraan Kelahiran Isa dalam Al Qur’an

Bacalah kutipan ayat di bawah ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 22-25)
Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa Maryam mengandung Nabi ‘Isa ‘alahis salam pada saat kurma sedang berbuah. Dan musim saat kurma berbuah adalah musim panas. Jadi selama ini natal yang diidetikkan dengan musim dingin (winter), adalah suatu hal yang keliru.

Penutup

Ketahuilah wahai kaum muslimin, perkara yang remeh bisa menjadi perkara yang besar jika kita tidak mengetahuinya. Mengucapkan selamat pada suatu perayaan yang bukan berasal dari Islam saja terlarang (semisal ucapan selamat ulang tahun), bagaimana lagi mengucapkan selamat kepada perayaan orang kafir? Tentu lebih-lebih lagi terlarangnya.
Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan yang ringan, namun menjadi masalah yang berat dalam hal aqidah. Terlebih lagi, jika ada di antara kaum muslimin yang membantu perayaan natal. Misalnya dengan membantu menyebarkan ucapan selamat hari natal, boleh jadi berupa spanduk, baliho, atau yang lebih parah lagi memakai pakaian khas acara natal (santa klaus, pent.)
Allah Ta’ala telah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Wallahu waliyyut taufiq.



Ingin pahala jariyah yang terus mengalir? Dukung pelunasan markaz dakwah YPIA di Yogyakarta. Kirim donasi anda ke salah satu rekening di bawah ini:
  1. Bank BNI Syariah Yogyakarta atas nama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari. Nomor rekening: 024 1913 801.
  2. Bank Muamalat atas nama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta. Nomor rekening: 5350002594
  3. Bank Syariah Mandiri atas nama YPIA Yogyakarta. Nomor rekening: 703 157 1329.
  4. CIMB Niaga Syariah atasn ama Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari. Nomor rekening: 508.01.00028.00.0.
  5. Rekening paypal: donasi@muslim.or.id
  6. Western union an Muhammad Akmalul Khuluk d/a Kauman GM 1/241 RT/RW 049/013 kel. Ngupasan kec. Gondomanan Yogyakarta Indonesia 55122

Hukum Pacaran Dalam Islam

Tidak ada komentar:
Hukum Berpacaran Menurut Islam
 
 
Assalamu'alaikum Wr. Wb
      Memang larangan mengenai pacaran di dalam Islam tidak dibahas secara gamblang. Mungkin itulah salah satu faktor yang mengakibatkan kebanyakan orang awam tidak dapat menerima atas hukum pelarangan pacaran ini.
      Namun, dalam dunia dakwah islam, larangan pacaran adalah hal yang sudah sangat dimengerti, maka aneh sekali manakala ada seseorang yang mengaku sebagai aktivis dakwah islam, namun ia tetap melakukan pacaran.
      Meskipun tidak dijelaskan secara gamblang, namun banyak sekali dalil yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk pelarangan aktifitas pacaran tersebut.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang mengharamkan perbuatan zina, termasuk juga perbuatan yang MENDEKATI ZINA.

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra, 17 : 32)

      Apa saja perbuatan yang tergolong MENDEKATI ZINA itu?
Diantaranya adalah: saling memandang, merajuk atau manja, bersentuhan (berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dll), berdua-duaan, dll.
Karena unsur-unsur ini dilarang dalam agama Islam, maka tentu saja hal-hal yang di dalamnya terdapat unsur tersebut adalah dilarang. Termasuk aktifitas yang namanya
"PACARAN"
      Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: "Tidak ada yang ku perhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil dari pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia
lakukan. Zinanya mata adalah melihat (dengan syahwat), zinanya lidah adalah mengucapkan (dengan syahwat), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (pemenuhan nafsu syahwat), maka farji (kemaluan) yang membenarkan atau mendustakannya." (HR. Al-Bukhari dan Imam
Muslim)
      Dalil di atas kemudian juga diperkuat lagi oleh beberapa hadits dan ayat Al-Qur'an berikut:
"Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya."
(HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim)

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan." (HR. Imam Ahmad)

"Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadist Hasan, Thabrani dalam Mu'jam Kabir 20/174/386)

"Demi Allah, tangan Rasulallah SAW tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) sama sekali meskipun dalam keadaan memba'iat. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat kalian." (HR. Al-Bukhari)

"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." (HR. Malik, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Telah berkata Aisyah
r.a. "Demi Allah, sekali-kali dia (Rasul) tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) melainkan dia hanya membai'atnya (mengambil janji) dengan perkataaan."
(HR. Al-Bukhari dan Ibnu
Majah).

"Wahai Ali, janganlah engkau meneruskan pandangan haram (yang tidak sengaja) dengan pandangan yang lain.
Karena pandangan yang pertama mubah untukmu.
Namun yang kedua adalah haram." (HR. Abu Dawud, Ath-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani)

"Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan (menundukan) pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari Kiamat." (HR. Imam Ahmad)

Dari Jarir bin Abdullah
r.a. dikatakan: "Aku bertanya kepada Rasulallah SAW tentang memandang (lawan-jenis) yang (membangkitkan syahwat) tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan (menundukan) pandanganku." (HR. Imam Muslim)

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidak-lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (merendahkan suara) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzab, 33 : 32)

Demikianlah yang dapat saya tulis, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb

IBADAH

Tidak ada komentar:
PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM


dikutip dari
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

Senin, 25 April 2016

Zakat

Tidak ada komentar:




Pengertian Zakat, Macam-Macam Dan Hak Penerima Zakat – Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang ketiga. Kita sudah melaksanakan zakat sejak kecil, bahkan sejak lahir ke dunia. Apa si zakat itu? Dalam pembahasan kali ini, akan membagikan penjelasan tentang zakat, dan macam-macamnya serta siapa saja orang yang berhak untuk menerima zakat. Pasti kita semua sudah tahu dan mengerti tentang rukun Islam yang satu ini. Namun, agar lebih jelas dan bermanfaat untuk yang belum tahu dan masih belajar. Langsung saja berikut penjelasannya.

Pengertian Zakat


Secara lughoh atau bahasa, zakat berasal dari bahasa Arab yang berarti suci, bertambah dan berkembang, berkah, dan terpuji. Sedangkan secara istilah syara’, zakat berarti suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT dengan mengeluarkan sebagian hartanya dan hukumnya wajib untuk dikeluarkan sesuai aturannya dan diberikan kepada golongan-golongan tertentu yang berhak menerimanya.
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103 yang artinya “Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka” (Q.S. At Taubah : 103).
Dan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 77 yang artinya: ”Laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat ”.

Dengan melaksanakan zakat, berarti kita telah membersihkan harta yang kita miliki. Zakat dilakukan setahun sekali tepatnya pada bulan ramadhan. Dengan mengeluarkan zakat, bukan berarti harta yang dimiliki akan habis, tentu tidak. Zakat itu artinya mensucikan, membersihkan, menambah. Jadi, sebagian harta yang wajib dikeluarkan itu, walaupun terlihat berkurang akan tetapi pada dasarnya akan bertambah jumlah & keberkahannya, serta akan mensucikan dan membersihkan diri dari segala dosa.

Macam-Macam Zakat

Zakat terbagi menjadi dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Adapun penjelasannya yakni sebagai berikut:

Zakat Fitrah

Zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim menjelang hari kemenangan yaitu hari raya Idul Fitri pada bulan suci Ramadhan. Ukuran zakat yang dikeluarkan yaitu 2,5 kg dan berupa makanan pokok yang ada di daerahnya masing-masing, seperti beras, sagu, gandum, kurma dan lainnya. Menurut Imam Syafi’iyah ukuran zakat fitrah yakni:
  • 1 sha’ : 2 Qodah Mesir
  • 1 sha’ : 4 Mud
  • 1 mud :1⅓ kati Baghdad
  • 1 kati : 128 4/7 Dirham
  • 1 Dirham : 4 gram
  • Jadi jumlah 1 sha’ sama dengan 2,743 Kg

Zakat Maal

Yakni zakat harta kekayaan yang dikeluarkan oleh setiap muslim. Contoh harta yang harus dizakati seperti hasil pertambangan, peternakan, perniagaan, perkebunan, hasil laut, emas & perak, hara temuan. Dan kesemua harta itu memiliki hitungan masing-masing. Adapun syarat dikeluarkannya zakat adalah telah mencukupi haul atau mencapai satu tahun kecuali harta pertanian seperti buah-buahan atau harta temuan, itu tidak harus menunggu hingga satu tahun.

Mustahiq Zakat

Yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Adapun mustahiq zakat harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah Q.S. At-Taubah ayat 60, yakni:
Fakir – Adalah orang-orang yang tidak memiliki harta untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari dan tak mampu bekerja ataupun berikhtiar.
Miskin – Adalah orang-orang yang memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari atau kekurangan.
Amil – Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Bisa juga disebut dengan panitia zakat.
Muallaf – Orang yang baru masuk kedalam Agama Islam dan masih membutuhkan bimbingan karena keimanannya masih lemah.
Gharim – Yakni orang yang memiliki hutang piutang, namun tidak mampu untuk membayarnya.
Hamba Sahaya – Atau disebut juga budak. Yakni orang-orang yang belum merdeka dan dimerdekakan.
Sabilillah – Adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT, seperti para syuhada’, para ulama, ustadz ustadzah yang mengarkan ilmu agama di pesantren ataupun di musholla dll.
Ibnu Sabil – Yakni orang-orang musafir atau yang sedang dalam perjalanan seperti contoh, orang yang sedang bertholabul ‘ilmi, melakukan dakwah dls.
Demikianlah pembahasan mengenai zakat, semoga kita sebagai muslim tidak melupakan kewajiban untuk membayar zakat. Sekian artikel tentang Pengertian Zakat, Macam-Macam Dan Hak Penerima Zakat, semoga memberikan faedah dan kemanfaatan bagi para pembaca semua. Terimakasih :)

Infaq

Tidak ada komentar:

pengertian infaq


     A.  INFAQ
Pengertian infaq
Makna Infaq
    Pengertian infaq adalah pengeluaran sukalrela yang di lakukan seseorang. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan. setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya.
Menurut bahasa infaq berasal dari kata “anfaqa” yang artinya mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut islilah syari'at, infaq adalah mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan dalam islam.
Infaq berbeda dengan zakat, infaq tidak mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infaq tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orong-orang yang sedang dalam perjalanan.
 Macam-macam infaq
  1.  infaq harta
  2. infaq
Adapun  infaq bagi seorang muslim antara lain:
• Infaq merupakan bagian dari keimanan dari seorang muslim
• Orang yang enggan berinfaq adalah orang yang menjatuhkan diri dalam kebinasaan.
• Di dalam ibadah terkandung hikmah dan mamfaat besar. Hikmah dan mamfaat infaq adalah sebagai      realisasi iman kepada allah, merupakan sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan ummat islam, menolong dan membantu kaum du’afa.  
Kaum Du’afa : Adalah sebuah kelompok manusia yang dianggap lemah atau mereka yang TERTINDAS.
Siapakah kaum du’afa
 Asal muasal Kaum Du’afa : adalah mereka yang tak bisa hijrah karena terhalang kafir    mekkah (tertindas).
·         Dari segi Ekonomi : adalah mereka yang fakir dan miskin (tertekan keadaan) bukan malas.
·         Dari segi Fisik : adalah mereka yang kurang tenaga (bukan karena malas)
·         Dari segi Otak : adalah mereka yang stupid ( bukan karena malas )
·         Dari segi Sikap : adalah mereka yang terbelakang (bukan karena )
Upaya Meningkatkan Ekonomi Kaum Dhuaa’fa
  • Menyantuni ( bersikap ramah ) Dengan ucapan dan lain-lain
  • Menolong (Dengan harta, tenaga, fikiran, dll)
  • Tidak melecehkan (Menganggap sama dan sederajat).
(2)
Akibat Men yia-nyiakan Kaum dhua’fa
"Sebaik-baik kamu ialah orang yang banyak manfaatnya (kebaikannya) kepada orang lain."

Oleh karena itu, ciri manusia sosial menurut Islam ialah kepentingan pribadinya diletakkan dalam kerangka kesadaran akan kewajibannya sebagai makhluk sosial.
Kesetiakawanan dan cinta kasih inilah yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Inilah ajaran iman dan amal shalih yang diajarkan oleh Rasulullah SAW berupa akhlak rabbani dan akhlak insani.

Sedekah

Tidak ada komentar:

Pengertian Sedekah 

 

Definisi Sedekah

Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).

Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:

''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).

Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.

Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.

Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.

Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya;

''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).

Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:

''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264).

Dirangkum /disarikan dari buku Ensiklopedi Islam








 

Doa malaikat itu doa yang mustajab. Di antara doanya, makaikat akan mendoakan yang memperhatikan nafkah keluarga dan gemar sedekah agar mendapatkan ganti dan memperoleh keberkahan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Doa Malaikat

Perlu dipahami bahwa doa malaikat adalah doa yang mustajab, benar-benar mudah diijabahi atau dikabulkan.
Doa tersebut ditujukan pada orang yang memperhatikan nafkah.
Ibnu Batthol menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan infak yang wajib seperti nafkah untuk keluarga dan nafkah untuk menjalin hubungan kekerabatan (silaturahim).
Doa malaikat itu mudah terkabul –kata Ibnu Batthol- dalilnya adalah berikut ini,
فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang bacaan aminnya itu seiringan dengan amin malaikat, maka dosanya yang lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 6402)

Mengeluarkan Nafkah dan Rajin Sedekah Akan Diganti

Adapun dikatakan dalam hadits bahwa orang yang rajin bersedekah atau berinfak dan yang dimaksudkan adalah seperti kata Ibnu Batthol di atas, maka Allah akan memberi ganti padanya.
Berarti siapa yang beri nafkah pada keluarga, pada kerabat, dan rajin pula mengeluarkan sedekah sunnah, maka malaikat akan mendoakan supaya orang tersebut mendapatkan ganti. Hal ini serupa seperti yang disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba’: 39). Maksud ayat, siapa saja yang mengeluarkan nafkah dalam ketaatan pada Allah, maka akan diberi ganti.
Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Allah Tabaraka wa Ta’ala: Wahai anak Adam, berinfaklah, Allah akan mengganti infakmu.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)

Enggan Menunaikan Nafkah dan Enggan Sedekah

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits doa malaikat di atas dalam Syarh Shahih Muslim,
قَالَ الْعُلَمَاء : هَذَا فِي الْإِنْفَاق فِي الطَّاعَات وَمَكَارِم الْأَخْلَاق وَعَلَى الْعِيَال وَالضِّيفَان وَالصَّدَقَات وَنَحْو ذَلِكَ ، بِحَيْثُ لَا يُذَمُّ وَلَا يُسَمَّى سَرَفًا ، وَالْإِمْسَاك الْمَذْمُوم هُوَ الْإِمْسَاك عَنْ هَذَا .
“Para ulama menyatakan bahwa infak yang dimaksud adalah infak dalam ketaatan, infak untuk menunjukkan akhlak yang mulia, infak pada keluarga, infak pada orang-orang yang lemah, serta lainnya. Selama infak tersebut tidaklah berlebihan, alias boros.
Adapun enggan berinfak yaitu enggan mengeluarkan untuk nafkah dan semisal itu.”
Hadits yang kita kaji menunjukkan keutamaan orang yang memperhatikan nafkah pada keluarga dengan baik, juga pujian bagi orang yang rajin sedekah. Sedangkan yang enggan memberikan nafkah kepada keluarga mendapatkan doa jelek dari malaikat, yaitu didoakan kebangkrutan atau kehancuran.
Semoga kita bisa memperhatikan kewajiban dalam hal menunaikan nafkah dan terus gemar sedekah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Minggu, 10 April 2016

IHSAN

Tidak ada komentar:

Kata ihsan berasal dari Bahasa Arab dari kata kerja (fi’il) yaitu :
احسن – يحسن – احسا نا  artinya : Perbuatan baik.( فعل الحسن ).[15] Menurut pengertian istilah ada beberapa definisi dan pengertian yang diberikan oleh ulama yaitu :
  1. Muhammad Amin al-Kurdi, ihsan ialah selalu dalam keadaan diawasi oleh Allah dalam segala ibadah yang terkandung di dalam iman dan islam sehingga seluruh ibadah seorang hamba benar-benar ikhlas karena Allah.[16]
  2. Menurut Imam Nawawi ihsan adalah ikhlas dalam beribadah dan seorang hamba merasa selalu diawasi oleh Tuhan dengan penuh khusuk, khuduk dan sebagainya.[17] 

    Iman, Islam dan ihsan adalah unsur-unsur agama (ad-Din), hal ini berdasarkan Hadis Nabi SAW :
حديث ابي هريرة قال كان النبي صلى الله عليه و سلم بارزا يوما للنافاتاه رجل فقال: ما الايمان؟ قال: الايمان ان تؤمن باالله وملائكته و بالقائه وبرسله وتؤمن بالبعث قال: مالاسلام؟ قال: الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به و تقيم الصلاة وتؤدى الزكاة المفرضه وتصوم رمضان. قال: ماالاحسان؟ قال: ان تعبد الله كانك تراه فان لم تكن تراه فانه يراك. قال: متى الساعة؟ قال: ما المسئول عنها باعلم من السائل وساخبرك عم اشرا طها اذا ولدت الامة ربها واذا تطاول رعاة الابل البهم فى البنيان. فى خمس لا يعلمهن الا الله ثم تلا النبى: ان الله عنده علم السعاة. ثم ادبر فقال: "ردوه" فلم يرواشيئا. فقال: هذا جبريل يعلم الناس دينهم.[18]
Artinya:’ Ab­­ Hurairah r.a berkata : Pada suatu hari ketika Nabi saw duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seseorang bertanya : Apakah iman ?. Jawab Nabi : Iman ialah percaya kepada Allah dan Malaikat-Nya dan akan bertemu dengannya, dan pada Nabi utusan-Nya, dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. Lalu Nabi ditanya : Apakah Islam ?. Jawab Nabi SAW ; Islam adalah menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat yang telah diwajibkan dan puasa pada bulan Ramadan. Lalu Nabi ditanya : Apakah Ihsan ?. Jawab Nabi : Ihsan adalah menyembah pada Allah seakan-akan engkau melihatnya, tetapi apabila kamu tidak melihat-Nya, dia pasti melihat kamu. Lalu Nabi ditanya : Kapankah hari kiyamat ?. Jawab Nabi : Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada orang yang menanya, tetapi saya katakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiyamat, jika budak sahaya telah melahirkan majikannya dan jika pengembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung. Termasuk lima perkara yang tidak diketahui kecuali Allah, yang tersebut dalam ayat :
“Sesungguhnya Hanya Allah yang mengetahui bilakah hari kiyamat, dan dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui yang di dalam rahim ibu, dan tiada seorangpun yang mengetahui apa yang terjadi besok hari, dan tidak seorangpun mengetahui dimanakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah mengetahui sedalam dalamnya”.(Q.S. Al-Ahzab ayat 63). Kemudian pergilah orang itu, lalu Nabi menyuruh sahabat; kembalikan orang itu !, tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu, maka rasul bersabda. Itu malaikat Jibril datang untuk mengajari agama pada manusia”.
Pada Hadis di atas ada empat aspek yang dijelaskan, yaitu aspek iman, islam, ihsan dan tentang waktu hari kiyamat. Pada Hadis tersebut dijelaskan bahwa iman ialah mempercayai Allah dan Malaikatnya serta meyakini akan berjumpa dengannya, beriman dengan rasul-rasulnya, dan beriman kepada hari kiyamat.
Masalah iman merupakan masalah pokok (pundamen) dalam Islam, karena menyangkut masalah meng-Esa-kan Tuhan yaitu Allah SWT. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat tauhid yaitu:

لا اله الا الله
Tiada Tuhan selain Allah”.
Kalimat ini menjadi landasan dasar dan inti Islam, yang membedakan manusia menjadi seorang mukmin atau kafir. Dalam artian pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah SWT, dan penolakan terhadap Tuhan yang lainnya.
Pada hadis di atas dijelaskan ada lima hal yang harus diimani, yaitu beriman kepada Allah, kepada Malikat-Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul-Rasul dan Hari Akhirat (hari berbangkit).  Pada hadis yang lain rasul menambahkan satu hal lagi yang harus diimani,  para ulama memasukkannya kepada rukun iman, yaitu beriman kepada Qa«a dan Qadar yang baik dan yang buruk. Sebagaimana yang dipaparkan hadis di bawah ini :
الايمان ان تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخر وتؤمن بالقدر خيره و شره.[19]
”Iman ialah mengimani Allah, Malaikatnya, Kitab-Kitabnya, Rasul-Rasulnya, Hari Akhirat dan mengimani Qadar baik dan buruk-Nya”.
Beriman kepada Allah dalam artian, mempercayai bahwa tiada Tuhan selain daripada Allah, mengEsakan-Nya dan tidak mensyarikatkannya dengan sesuatu, dan mengimani sifat-sifat yang wajib padanya, yang pada intinya mematuhi perintah dan meninggalkan larangannya. Beriman kepada Malaikat mengandung arti menyakini bahwa Allah menciptakan Malaikat yang selalu patuh terhadapnya. Menurut ulama ada sepuluh malaikat yang harus diimani. Beriman dengan Kitab Allah, mengandung artian, mempercayai bahwa kitab-kitab yang turun kepada rasul pilihannya adalah benar berasal dari Allah SWT. Ada empat kitab yang wajib diimani yaitu Al-quran, Zabur, Inzil dan Taurat. Beriman pada Rasul, mengandung artian bahwa percaya bahwa Allah mengutus  rasul-rasulnya untuk menyampaikan amanahnya kepada umat manusia di muka bumi. Beriman pada Hari Kiyamat mengandung arti mempercayai bahwa hidup di dunia ini akan berakhir, dan akan mengalami kehidupan yang baru yaitu alam akhirat, yang mana pada alam ini akan terjadi pembalasan segala amal perbuatan manusia sewaktu hidup di dunia.[20] 

Beriman pada qadar baik dan buruk, mengandung artian meyakini Allah mempuyai kekuasaan untuk menetapkan hal yang baik dan yang buruk terhadap manusia,  setelah manusia tersebut terlebih dahulu melakukan usaha, (ikhtiar). Keenam hal tersebut di atas harus tertanam di dalam setiap keyakinan umat Islam, karena enam hal tersebut termasuk rukun iman.[21] 

Mengenai bukti seseorang beriman atau tidak, di kalangan ulama ada perbedaan pendapat. Menurut Imam Nawawi ; secara lahir (formal) seseorang baru disebut mukmin jika ia telah megucapkan dua kalimah syahadat. Sedangkan kaum Ahl as-Sunnah (baik dari Muhaddisin, Fuqaha dan Mutakallimin), sepakat bahwa orang dapat dikatakan ahl qiblat (orang muslim) dan tidak akan kekal dalam neraka adalah mereka yang meyakini bahwa islam adalah agama yang diterima dari Allah dengan keyakinan yang kukuh tanpa ada keraguan sedikitpun dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Sedangkan menurut Maududi, perbedaan percaya dan tidak percaya bukan hanya karena syahadat, tetapi penerimaan secara sadar dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya di kehidupan nyata.[22] 

Pada hadis pertama di atas dijelaskan rasul, bahwa Islam adalah mengabdi kepada Allah dan tidak mensyarikatkannya, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat yang diwajibkan dan puasa pada bulan Ramadan. Pada hadis berikut ini, ditambahkan satu hal lagi oleh Nabi yaitu haji kepada Baitul al-Haram.
حديث ابن عمر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: بني الاسلام على خمس: شهادة ان لا اله الا الله وان محمد رسول الله و اقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج و صوم رمضان.[23]
Artinya :”Dari Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda : Islam itu dibangun atas lima hal, yaitu meng Esakan Allah mendirikan Shalat, memberikan Zakat, Puasa pada bulan Ramadhan dan Haji ke Baitullah”.
Lima perkara di atas merupakan rukun Islam. Menyembah Allah dalam artian menghambakan diri padanya bahwa kita sebagai makhluk-Nya. Kemudian patuh terhadap-Nya, dialah yang maha kuasa alam jagat raya, dia patut disembah tidak ada selain Dia. Diibaratkan manusia dihadapan Allah laksana seorang hamba dengan majikannya (tuannya), patuh terhadap segala perintah tuannya dan setia selalu dan tiada kekuatan-kekuatan untuk menentang perintah dari tuannya tersebut.
Mensyarikatkan Allah mengandung makna, tidak menyamakan Allah dengan yang lain, karena Allah tidak dapat disamakan dengan sesuatu. Sesuatu selain Allah disebut dengan makhluk. Allah berlainan dengan makhluk. Mahluk merupakan ciptaan Allah (laisa kamihlihi syaiun).[24]
Melaksanakan shalat yang diwajibkan, artinya apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Shalat yang wajib dilaksanakan lima kali sehari semalam yaitu shalat Maghrib, Isa, Subuh, Zuhur dan Asar. Rasul mengatakan :
الصلاة عماد الدين
Artinya :”shalat merupakan tiang agama”.
Shalat merupakan amal ibadah, sebagai wujud bukti penghambaan diri kepada Allah. Menunaikan zakat yang diwajibkan yaitu zakat fitrah yang dilakukan sekali dalam setahun pada bulan Ramadhan. Kemudian zakat harta yang dikeluarkan apabila harta yang dimiliki telah sampai pada nisabnya. Mengeluarkan zakat sebagai pembersih diri dan wujud ketaqwaan kita kepada Allah serta mewujudkan rasa solidaritas sesama muslim antara sikaya dengan  simiskin.
Kemudian melaksanakan puasa wajib, yaitu puasa penuh satu bulan selama bulan Ramadhan. Puasa adalah menahan diri dari lapar dan dahaga dari waktu imsa’ sampai terbenamnya matahari.
Yang terakhir melaksanakan haji ke Baitul Haram, yang merupakan kewajiban dilaksanakan sekali seumur hidup. Acara ritual haji telah dimulai semenjak Nabi Ibrahim as. Semuanya hal di atas ibadah yang harus dilaksanakan bagi setiap pribadi muslim, karena dia merupakan ibadah yang merupakan kewajiban untuk pengabdian kepada Allah SWT, Sebagaimana pengabdian Nabi Ibrahim Kepada Allah SWT.
Selanjutnya apabila dilihat makna Islam sebagai kepatuhan, dapat dilihat dalam jagat raya, ada peraturan dan hukum yang berlaku bagi alam ini. Semua bertugas menurut posisi masing-masing seperti matahari, bumi, planet-planet berputar pada sumbunya masing-masing. Bulan beredar pada tempat edarannya dan lain-lainnya. Semua mengikuti hukum yang tidak berubah, karena alam semesta beserta seluruh isinya mematuhi hukum-hukum Allah, maka alam semesta secara keseluruhan mengikuti agama islam. Dapat dikatakan demikian karena arti islam itu sendiri adalah suatu penyerahan diri dan kepatuhan kepada Allah SWT, penguasa jagat raya.
Hasbi ash-Shiddiqy, membagi Islam kepada dua bagian yaitu ; Islam hakiki, Islam shuri (pura) dan  taqlidi. Islam (pura-pura) ialah Islam yang tidak didukung oleh  kepercayaan atau akuan hati, yang mana pada lahirnya saja yang Islam, tetapi bathinnya tidak. Islam taqlidi atau yang disebut juga Islam ‘Urfi ialah Islamnya karena keturunan, atau ikut-ikutan tanpa mengetahui atau mengenal Islam. Sedangkan Islam hakiki ialah Islam yang mampu menjernihkan diri, mengheningkan ruhnya, membersihkan akal dari segala rupa kepercayaan yang salah, khurafat, dan bid’ah memperbaiki jiwa dengan kemauan meluruskan cita-cita dalam segala amalan, mengikhlaskan niat terhadap Allah,[25] sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran : 85.
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِينً۬ا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ (٨٥)
85.  Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Berkaitan dengan istilah islam, kata iman yang tersebut pada awal Hadis pertama, semakna denga islam. Nabi biasanya mengunakan kata iman dengan arti islam. Bagitu pula sebaliknya. Oleh karena itu pernyataan bahwa iman terdiri atas 69 bagian sama artinya dengan islam terdiri 69 bagian. Kemudian kata a«-¬³n dan Islam,[26] keduanya tersebut dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 19.
  ان الدين عند الله الاسلام
Artinya:”Sesungguhnya agama yang (diakui) disisi Allah adalah Islam”. 

Selanjut pada pada Hadis tersebut di atas dibicarakan tentang Ihsan. Pengertian ihsan secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan perasaan seakan-akan melihatnya, jika perasaan tersebut tidak dapat ditumbuhkan, maka hendaklah diyakini bahwa Allah melihat semua gerak gerik dan prilaku serta tidak ada sediktipun yang luput dari penglihatan Allah.
Oleh karena itu Allah mewajibkan ihsan dalam segala perbuatan, baik yang bathin maupun yang zahir (jawarih) yang dihadapkan kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi:
   ان الله كتب الاحسان على كل شيئ[27]
”Bahwasanya Allah mewajibkan (kita) berlaku ihsan terhadap segala sesuatu yang dikerjakan “.
Ihsan adalah jiwa iman dan islam. Iman dan islam diterima Allah jika berdasarkan ikhlas dengan kata lain, modal ihsan adalah ikhlas, sebab semua amal, baik yang bathiniah maupun yang lahiriyah, baru diterima jika dilandasi oleh ikhlas.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman, bahwa puncak dari iman dan islam adalah ihsan. Ini artinya orang telah sempurna keimanannya dan keislamannya akan mencapai suatu keadaan dimana ia dapat melakukan ibadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, bila kondisi ini tidak demikian padanya, ia akan selalu merasakan diawasi oleh Allah.
Perasaan melihat Allah atau dilihat Allah menyebabkan ibadah yang dilakukan seorang hamba dapat berlangsung dengan baik dan khusuk. Ibadahnya dapat memusatkan hanya pada Allah, dengan kata lain hanya Allah sajalah yang hadir dalam hatinya sewaktu dia melaksanakan ibadah bersimpuh pada Allah SWT.
Perasaan tersebut di atas, sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, karena merasa selalu terkontrol oleh Allah. Orang yang mempunyai perasaan demikian, tingkah lakunya selalu dalam keadaan baik, ia tidak berani melanggar aturan-aturan agama. Dengan demikian ihsan itu beramal saleh dan dapat menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan buruk.
Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga serangkai yang tidak boleh terpisah dalam kerangka agama Islam, sesuai dengan bunyi hadis di atas. Kaitan ketiga aspek tersebut ibarat ruh dengan tubuh. Jika iman ditamsilkan sebagai watak (Gharait) dan islam sebagai tubuh (jawarih), maka ihsan ialah ruh yang mendinamiskan gharait dan menggerakkan jawarih. Selanjutnya diakhir hadis dikatakan :
هذا جبريل جاء يعلم الناس دينهم .
“Ini Jibril datang datang untuk mengajari manusia tentang agama mereka”. 
Maksudnya kesempurnaan agama (Islam) terletak pada tiga sendi tersebut. Hal ini diperjelas seorang tokoh Islam bernama Abdul Hamid yaitu, seorang yang hatinya benar-benar terikat pada iman (percaya pada Tuhan), pada islam (berserah diri sepenuhnya) dan menjalankan ihsan (berbuat baik) adalah seorang muslim. Dengan kata lain seorang muslim ialah yang mempercayai islam, suatu agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang tecantum dalam Al-quran dan dijelaskan Hadis.[28]
Selanjut pada Hadis tersebut di atas ditanyakan oleh Jibril tentang waktu hari Kiyamat, tetapi Nabi tidak dapat menjawabnya, karena waktu kiyamat merupakan rahasia Allah SWT, dan itu sifatnya imani, harus diyakini bahwa hari kiyamat itu pasti akan tiba, buat memperhitungkan seluruh amal perbuatan manusia di permukaan bumi ini.
Nabi hanya dapat menjelaskan tentang syarat-syaratnya saja, yaitu apabila budak wanita melahirkan anak tuannya. Menurut al-Qasalani dalam syarah kitab Imam  al-Bukhari tersebut, maksud budak melahirkan anak tuannya di sini adalah apabila para wanita yang hamil dan malahirkan anak tanpa melakukan pernikahan terlebih dahulu.[29]

Selanjutnya Nabi mengatakan tanda hari kiamat itu, apabila pengembala unta dan binatang ternak membangun bagunan yang megah. Maksudnya seorang pengembala yang miskin mampu untuk membangun bangunan yang megah, karena Allah SWT telah melimpahkan semua rahmatnya kepada manusia di akhir zaman, termasuk kepada si pengembala yang miskin tersebut.
 
back to top